Saturday, March 21, 2015

TAFSIR TARBAWI MAKALAH


IMAN KEPADA ALLAH
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Tafsir Tarbawi
Dosen pengampu :M.Dzofir, M.Ag


Disusun oleh:
                                           Nama : Ummu Bashiroh
     NIM : 111088
     Kelas : PAI/C

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/ PAI
                                                         TAHUN 2012

BAB I
PENDAHULUAN
Iman merupakan pembahasan pokok di dalam agama yang juga mempunyai pengaruh signifikan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana keterangan Al-Qur’an yang telah menjelaskan bahwa setiap manusia mempunyai fitrah untuk beragama yang hanif, yakni agama Islam, agama yang mengajarkan untuk mengimani-Nya serta mentauhidkan-Nya.
Iman kepada Allah Swt. merupakan induk dari Iman kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan qadha’ qadar-Nya.
Iman kepada-Nya sudah barang tentu harus mengenal-Nya, Allah telah mengenalkan wujud-Nya dengan apa yang ada di langit dan di bumi untuk ditadabburi oleh manusia, juga melalui asma-asma terbaik-Nya yang disebut dengan asma’ul husna.
Berdasarkan ilustrasi di atas, penulis menyadari betapa urgennya untuk memahami hakikat dari Iman kepada Allah swt., sekaligus implementasi serta pengenalan-Nya dalam kehidupan.
Maka dari itu, dalam makalah ini, penulis memaparkan tentang pengertian serta makna Iman kepada Allah Swt. dipandang dari sudut tafsir Al-Qur’an.






BAB II
AYAT-AYAT YANG TERKAIT

وَاٰٰلهكمْ الهّ واحدّ لا الهّ الاّهوُ الرّحمنُ الرّحيمُ (البقرة:163)
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah:163).
اللّهُ لاالهَ الا هو الحىُّ القيّومُ لاتأخذُه سِنَةّ ولا نومّ له ما فى السّموتِ وما فى الارضِ من ذالّذى يشفعُ عنده الاّ بإذنه يعلم ما بين ايديهم وما خلفهم ولا يحيطون بشيئ من علمه إلاّ بما شاءَ وسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰواتِ وَالاَرْضَ ولا يؤوده حِفظهُما وهو العليُّ العظيمُ (البقرة:255)
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. kepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat member syafa’at di sisi Allah tanpa izin-nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di brlakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tingga lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah:255).
ومن ايتِه خلقَ السّمٰوات والارض واختلافُ السنتكُم والوانِكم انّ فى ذالك لاٰيت للعالمينَ (الرّوم:22)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Ar-Ruum:22).
ومن ايتِه منامُكم بالّيلِ والنّهارِ وابتغاؤُكم من فضلِه انَّ فى ذٰلك لاٰية لقوم يّسمعونَ (الرّوم:23)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (Ar-Ruum:23).
ومن ايته يُريكم البرقَ خوفاً وطمعاً وّيُنَزِّلُ من السّماءِ ماءَ فيحي به الارضَ بعد موتِها إنّ في ذٰلك لاٰيت لقومً يّعقلون (الرّوم:24)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (Ar-Ruum:24).
ومن ايته ان تقومَ السّماءُ والارض بأمره ثمّ اذا دعا كم دعوة مّن الارضِ اذا أتنم تخرُجون (الرّوم:25)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).” (Ar-Ruum:25).
فأقم وجهَك للدّين حنيفاً فطرةَ الّله التّى فطَرَ النّاسَ عليها لا تبدِ يل لخلق لا يعلمون (الرّوم:30)
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak adaperubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Ruum:30).
هُوَ اللّه لاإلهَ إلاّ هو عالِمُ الغَيْبِ والشَّهادَةِ هوَ الرّحمٰن الرّحيم (الحشر:22)
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dann yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:22).
هُوَ اللّه لاإاله إلآ هو المَلِكُ القُدّوسُ السّلامُ المُؤمنُ المُهَيْمنُ العزيز ُالجبّارُ المتكبّرُ سبحانَ اللّه عمّا يُشْرِكُون (الحشر:23)
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Maha Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Mengkaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki segala keagungan. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Hasyr:23).
هُوَاللّه الخالقُ البارِئُ المصوّرُ لَهُ الاَسماَءُ الحُسنٰى يُسَبِّحُ لَهُ ما فى السَّمٰوٰتِ والارضِ وهو العزيزُ الحكيمُ (الحشر:24)
“Dialah Allah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Mengadakan, Yang Maha Membentuk Rupa, yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kapada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr:24).








BAB III
MUFRODAT

اله: Tuhan yang disembah
واحد: Satu
الحىّ: Yang Hidup
القيّوم: Yang Berdiri dengan sendirinya
يعلم: mengetahui
كرسىّ: kursi (ilmu Allah)
العليّ: Maha Tinggi
العظيم: Maha Besar
السنتكم: Bahasa Kalian
الوانكم: Warna Kulit Kalian
ايا ت: Tanda-tanda
عا لمين: Orang-orang Yang Mengetahui
يسمعون: Orang-orang Yang Mendengarkan
دعوة: Sekali Panggilan
حنيفا: Lurus
فطرة: Fitrah
الرحمن: Maha Pemurah
الرحيم: Maha Pengasih
الملك: Maha Raja
القدوّس: Maha Suci
السّلام: Maha Sejahtera
المؤمن: Maha Mengkaruniakan keamanan
المهيمن: Maha Memelihara
العزيز: Maha Perkasa
الجبّار: Maha Kuasa
 المتكبّر: Maha Memiliki segala Keagungan
الخالق: Maha Pencipta
البارئ: Maha Mengadakan
المصوّر: Maha Membentuk
سبحان: Maha Suci
الاسماء الحسنى : Nama-nama Yang Paling Baik



                                                                                                                   





BAB IV
PEMBAHASAN
1. Definisi Iman Kepada Allah Swt.
            Pada dasarnya semua manusia dilahirkan dalam keadaan hanif atau sering disebut dengan fitrah Allah, sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Ar-Ruum:30
فأقم وجهَك للدّين حنيفاً فطرةَ الّله التّى فطَرَ النّاسَ عليها لا تبدِ يل لخلقلا يعلمون
(الرّوم:30)    
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak adaperubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Ruum:30).
            Kata “حنيفا” biasanya diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu.[1] Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Hanif berarti condong kepadanya artinya memurnikan agama Allah.[2] Menurut Imam Ath-Thabari “hanifan” berarti lurus kepada agama-Nya dan mena’ati-Nya.[3] Menurut Al-Ishfahyani “hanif” berasal dari kata “hanafa” yang berarti condong dari kesesatan kepada istiqomah.[4]
            Jadi, yang dimaksudkan dengan agama yang hanif adalah agama allah Swt. yakni agama Islam yang mengajarkan untuk mengimani-Nya.
            Selain kata hanif, ayat di atas juga menyebutkan kata “fitrah”. Kata fitrah tarambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Sementara pakar menambahkan, fitrah adalah “mencipta sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya.
            Menurut Al-Biqa’I, yang dimaksudkan fitrah adalah penerimaan kebanaran dan kemantapan mereka dalam penerimaannya.[5] Sedangkan menurut Al-Maraghi, fitrah adalah keadaan yang mana Allah menciptakan manusia dari nafsu untuk kebenaran, dan bangunan tubuhnya untuk akalnya.[6]
            Dari penjelasan di atas, dapat diambil pengertian bahwa pada hakikatnya semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah untuk beragama hanif, yakni agama Islam yang didasarkan pada keimanan kepada Allah Swt. sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin bahwa “Setiap manusia telah diciptakan atas dasar keimanan kepada Allah bahkan atas potensi mengetahui persoalan-persoalan sebagaimana adanya potensi pengetahuan (padanya).[7]
            Kedua hal di atas (fithrah tauhid dan penciptaan manusia dalam keadaan hanif) merupakan inti keimanan kepada Allah.[8]
            Sedangkan definisi dari Iman sendiri adalah meyakini dengan sepenuh hati, dengan pembenaran pada lisan juga hati, serta diikuti dengan melakukan amal saleh.[9] Jadi, pengertian Iman kepada Allah adalah meyakini akan adanya Allah, membenarkannya dalam hati dan lisan, serta diiringi dengan amal saleh.
2. Makna Iman Kepada Allah Swt.
            Wujud atau adanya Allah, bukanlah merupakan sesuatu hal yang sulit dimengerti, sebab fitrah manusia sendiri telah membuktikan dan mengakui adanya Allah tersebut. Fitrah manusia dalam perjalanan hidupnya pasti akan menemukan bukti-bukti adanya Allah, tetapi kenyataannya kadang-kadang menjadikan bahwa zat Allah tersebut seolah-olah tidak ada, sebab baik Zat maupun kekuasaan-Nya sangat dekat dengan fitrah manusia itu sendiri. Karena begitu dekatnya sehingga ia (manusia) tidak menyadarinya.
            Untuk memahami masalah ini memang dibutuhkan adanya pemikiran yang cukup mendalam dan bahkan juga perenungan.[10]
            Sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 22-25:
ومن ايتِه خلقَ السّمٰوات والارض واختلافُ السنتكُم والوانِكم انّ فى ذالك لاٰيت للعالمينَ
(الرّوم:22)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Ar-Ruum:22).
ومن ايتِه منامُكم بالّيلِ والنّهارِ وابتغاؤُكم من فضلِه انَّ فى ذٰلك لاٰية لقوميّسمعونَ (الرّوم:23)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (Ar-Ruum:23).
ومن ايته يُريكم البرقَ خوفاً وطمعاً وّيُنَزِّلُ من السّماءِ ماءَ فيحي به الارضَ بعد موتِها إنّ في ذٰلك لاٰيتلقومً يّعقلون (الرّوم:24)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (Ar-Ruum:24).
ومن ايته ان تقومَ السّماءُ والارض بأمره ثمّ اذا دعا كم دعوة مّن الارضِ اذا أتنم تخرُجون (الرّوم:25)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).” (Ar-Ruum:25).
            Keempat ayat di atas memberikan bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Allah Swt. lafadz “Ayat” di atas ditafsir oleh Imam Jalalain sebagai dalil-dalil atas kekuasaan Allah.[11] Diantara kekuasaan-kakuasaan-Nya yakni:
1.      Menciptakan langit dan bumi beserta seluruh isinya.
2.      Menciptakan (menjadikan) bahasa dan kulit yang berbeda-beda.
Allah menciptakan ilmu dharuri dalam (kehidupan) kita dan kita memahaminya dengan bahasa, sebagian bahasa diantara kita itu berbeda-beda.[12]
3.      Menidurkan di waktu malam, dan usaha manusia dalam mencari sebagian dari karunia-Nya di siang hari.
4.      Memperlihatkan kapada manusia kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan.
5.      Menurunkan air hujan untuk menghidupkan bumi dengannya setelah mati.
6.      Berdirinya langit dan bumi.
7.      Ketika Dia memanggil manusia satu panggilan, seketika itu juga keluar dari kubur.
Ayat-ayat akan kekuasaan Allah tersebut dapat dimengerti bagi orang-orang yang mengetahui, mendengarkan, dan berakal.
Menurut Al-Maraghi orang-orang yang mengetahui maksudnya adalah dengan disebutkan dalil-dalil tersebut bagi orang-orang yang memiliki ilmu dia akan berfikir tentang ciptaan Allah, kemudian mereka mengetahui bahwa tidak ada yang sia-sia pada ciptaan-Nya, akan tetapi justru memiliki hikmah besar yang terdapat pelajaran di dalamnya. Orang-orang yang mendengarkan maksudnya adalah orang-orang yang mau mendengarkan nasihat dan menasihati dengannya., memahami dalil-dalil atas mereka.[13] Dan orang-orang yang berakal adalah orang-orang yang mentadabburi (memikirkan) akan ciptaan-Nya.[14]
Thabaththaba’I menjelaskan bahwa fushilat ayat-ayat yang lalu, yang dimulai dengan yafakkarun/berpikir (ayat 21), lalu li al-‘alamin/bagi orang-orang yang alim (ayat 22), lalu yasma’un/mendengarkan (ayat 23), lalun ya’qilun (24) dengan urutan seperti itu. Susunan tersebut demikian, karena manusia berpikir terlebih dahulu, dan ini mengantar dia dapat menjadi alim (orang yang berpengetahuan). Selanjutnya bila dia mendengar suatu kebenaran, dia akan menangkapnya lalu mengikutinya atau dalam istilah al-Qur’an ya’qil yakni menjadikan dia terikat dengannya serta mengikat dirinya sehingga tidak terjerumus dalam kesalahan.[15]
Setelah dijelaskan tentang bukti-bukti wujud Allah, maka perlu ditegaskan bahwa yang diimani adalah Allah Swt. yang Maha Esa, sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 163:
وَاٰٰلهكمْ الهّ واحدّ لا الهّ الاّهوُ الرّحمنُ الرّحيمُ (البقرة:163)
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah:163).
Lafadz ”وَاٰٰلهكمْdi atas menurut Imam Jalalain diartikan sebagai dzat yang haq untuk disembah dan lafadz “الهّ واحدditafsiri dengan tidak ada yang menyerupai dalam dzat maupun sifat-Nya.[16] Kemudian, Imam Shawi menjabarkan pengertian “tidak adanya yang menyetarai Allah” baik pada dzat maupun sifat-Nya, adalah bahwa tidak ada yang setara pada dzat-Nya yakni tidak ada tersusunnya dzat Allah terdiri dari beberapa juz, dan tidak ada satupun yang menyerupai dzat-Nya, tidak ada yang setara pada sifat-Nya adalah bahwa sifat Allah tidak terbilang dari satu jinis sifat (Allah tidak mempunyai 2 sifat yang sejenis) seperti tidak adanya 2 sifat Ilmu, 2 sifat Sama’, dsb. Juga tidak ada yang menyetarai dalam perbuatan-Nya artinya tidak ada seorangpun yang mempunyai perbuatan yang menyertai-Nya.[17]
Imam Thabari memberikan penjelasan bahwa lafadz “وَاٰٰلهكمْ الهّ واحدّ berarti Tuhan yang haq disembah hanya satu tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak ada yang setara dengan-Nya.[18]
Lafadz “لا اله الاّاللهmencakup dua perkara yakni, menghilangkan kecacatan dari rububiahNya, dan membersihkan kehaqanNya dari sifat rendah.[19]
Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut bahwa “Allah adalah Tuhan kamu  semua, hai manusia yang mukmin, kafir atau munafik. Hanya Dia yang berhak kamu sembah. Siapa yang menyembah selain-Nya atau sesuatu bersama-Nya, maka ibadahnya tidak diterima. Dia yang Maha Esa dalam dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Tiada Tuhan yang berhak disembah, tiada juga penguasa yang menguasai dan mengatur seluruh alam raya melainkan Dia. Dia Yang Maha Pemurah yang melimpahkan rahmat di dunia untuk seluruh makhluk tanpa pilih kasih, serta lagi Maha Penyayang melimpahkan rahmat khusus untuk yang taat kepada-Nya di hari kemudian nanti.[20]
Tuhan yang wajib diimani adalah Allah Yang Maha Esa juga yang mempunyai segala kekuasaan, hal ini dijelaskan dalam surat Al-Baqarah:255 sebagai berikut:
اللّهُ لاالهَ الا هو الحىُّ القيّومُ لاتأخذُه سِنَةّ ولا نومّ له ما فى السّموتِ وما فى الارضِ من ذالّذى يشفعُ عنده الاّ بإذنه يعلم ما بين ايديهم وما خلفهم ولا يحيطون بشيئ من علمه إلاّ بما شاءَ وسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰواتِ وَالاَرْضَ ولا يؤوده حِفظهُما وهو العليُّ العظيمُ (البقرة:255)
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. kepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat member syafa’at di sisi Allah tanpa izin-nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di brlakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tingga lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah:255).
Sifat-sifat Allah yang dikemukakan dalam ayat ini disusun sedemikian rupa sehingga menampik setiap bisikan negative yang dapat menghasilkan keraguan tentang pemeliharaan dan perlindungan Allah. Demikian sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah:255:
1.      Al-Hayyu: yang Maha Hidup dengan kehidupan yang kekal.[21]
Menurut Jalaluddin “Al-Hayyu” mempunyai arti kehidupan yang tetap dan kekal.[22] Menurut Imam M.Rasyid Ridha “Al-Hayyu” yang dimaksud adalah pemilik (yang mepunyai) kehidupan.[23]
2.      Al-Qayyum yakni yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya.[24]
Menurut Jalaluddin “Al-Qayyum” berarti orang yang mencukupi secara terus-menerus dengan mengatur ciptaan-Nya.[25]
3.      لاتأخذُه سِنَةّ ولا نومّ tidak dapat dikalahkan oleh kantuk dan tidur. Allah terus-menerus jaga dan siap siaga.
4.      Yang menguasai langit dan bumi.
5.      Dia Yang Maha Perkasa, sehingga berbicara di hadapan-Nya pun harus setelah memperoleh restu-Nya.
6.      Dia yang mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, yakni Allah mengetahui apa yang mereka lakukan dan rencanakan, baik yang berkaitan dengan masa kini dan yang akan datang, maupun masa lampau.
7.      Dialah yang mengizinkan makhluk-Nya untuk mengetahui apa yang telah direncanakan oleh-Nya.
8.      Kursi-Nya mencakup langit dan bumi. Kursi di sini dimaknai sebagai kekuasaan atau ilmu-Nya.[26] Menurut Imam M. Rasyid Ridha Kursi berarti ilmu Allah.[27]
9.      Allah tidak berat untuk memelihara keduanya (langit dan bumi), Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.[28]
Demikianlah dua ayat yang menjelaskan bahwa yang diimani yakni Allah yang Maha Esa dan kuasa atas segalanya. Pembahasan selanjutnya yakni cara pengenalan kita kepada Allah.
Betapa terbatasnya manusia, sehingga secara dhahir manusia belum dapat melihat wujud Allah secara nyata dan kasat mata, akan tetapi Allah telah memperkenalkan wujud-Nya kepada manusia dengan nama-nama-Nya yang terbaik yang sering disebut “asmaul Husna” diantaranya adalah sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Al-Hasyr ayat 22-24
هُوَ اللّه لاإلهَ إلاّ هو عالِمُ الغَيْبِ والشَّهادَةِ هوَ الرّحمٰن الرّحيم (الحشر:22)
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dann yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:22).
هُوَ اللّه لاإاله إلآ هو المَلِكُ القُدّوسُ السّلامُ المُؤمنُ المُهَيْمنُ العزيز ُالجبّارُ المتكبّرُ سبحانَ اللّه عمّا يُشْرِكُون (الحشر:23)
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Maha Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Mengkaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki segala keagungan. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Hasyr:23).
هُوَاللّه الخالقُ البارِئُ المصوّرُ لَهُ الاَسماَءُ الحُسنٰى يُسَبِّحُ لَهُ ما فى السَّمٰوٰتِ والارضِ وهو العزيزُ الحكيمُ (الحشر:24)
“Dialah Allah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Mengadakan, Yang Maha Membentuk Rupa, yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kapada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr:24).
            Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt. mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1.      Esa, tiada Tuhan selain Dia.
2.      Mengatahui yang ghaib dan yang nyata.
3.      Rahman.[29]
Menurut Raghib Al-Isfahyani, Rahman berarti kasih saying nya ada di dunia, umum untuk orang mukmin dan kafir.
4.      Rahim.
Berarti kasih sayangnya yang di akhirat, dikhususkan untuk orang-orang mukmin.[30]
5.      Malik (maha Raja)
Kata Malik mengandung makna kekuatan atau keshahihan. Kata ini terulang di dalam Al-Qur’an sebanyak lima kali. Al-Malik mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya.
6.      Quddus (Maha Suci)
Al-Quddus mengandung makna kesucian.[31] Menurut Ath-Thabari Al-Quddus berarti yang penuh keberkatan.[32] Ada ulama’ yang mengartikan sebagai yang menghimpun semua makna-makna yang baik atau yang terpuji dengan segala macam kebajikan.
7.      Salam (Maha Sejahtera)
Kata “As-Salam” terambil dari akar kata “salima” yang maknanya berkisar pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Allah adalah as-salam karena Yang Maha Esa itu terhindar dari segala aib, kekurangan dan kepunahan yang dialami para makhluk. Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa semua ulama’ sepakat bahwa nama as-salam yang dinisbahkan kepada Allah berarti Dzu as-Salamah yakni pemilik As-Salamah.[33] Menurut Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy, “As-Salam” berarti yang selamat dari aniaya-Nya.[34] Sedangkan menurut Ath-Thabari “As-Salam” berarti yang menyelamatkan ciptaan-Nya dari aniaya-Nya.[35]
8.      Mukmin (Maha Mengkaruniakan Keamanan)
Kata “al-mu’min” terambil dari akar kata ”amina”, yang melahirkan sekian banyak bentuk antara lain iman, amanah, dan aman. Amanah adalah lawan dari kalimat khianat yang melahirkan ketenangan batin serta rasa aman karena adanya pembenaran dan kepercayaan terhadap sesuatu, sedang iman adalah pembanaran hati dan kepercayaan terhadap sesuatu.[36] Menurut Ibn ‘Athiyyah Al-Andalusiy, mu’min merupakan isim fa’il dari “amana” yang berarti aman.[37] Sedangkan menurut Ath-Thabari adalah yang mengamankan penciptaan-Nya dari kedhaliman-Nya.[38]
9.      Muhaimin (Maha Memelihara)
Menurut Ath-Thabari “Muhaimin” berarti yang menyaksikan.[39] Pendapat yang lebih kuat adalah yang mengartikan “al-muhaimin” sebagai yang menjadi saksi terhadap sesuatu serta memeliharanya.
10.  Aziz (maha Perkasa)
Kata “al-aziz” terambil dari akar kata yang terdiri dari dua huruf, yaitu ‘ain dan zai, maknanya berkisar pada kekukuhan dan kemantapan.[40] Menurut ibn Katsir “al-aziz” berarti yang menguatkan segala sesuatu sehingga mengalahkannya, dan mengalahkan sesuatu sehingga tidak dapat menolaknya.[41] Menurut Ibn ‘Athiyyah “al-aziz” berarti yang tidak dikalahkan .[42]
11.  Jabbar (Maha Kuasa)
“Al-Jabbar” mengandung makna keagungan, ketinggian, dan istiqomah yakni konsistensi. Allah adalah Al-Jabbar karena ketinggian sifat-sifat-Nya yang menjadikan siapapun tidak mampu menjangkau-Nya. Al-Biqa’I menafsirkan kata Jabbar dengan “ Yang Maha Tinggi sehingga memaksa yang rendah untuk tunduk kepada apa yang dikehendaki-Nya, dan tidak terlihat atau terjangkau oleh yang rendah apa yang mereka harapkan untuk diraih dari sisi-Nya, ketundukan dan ketidakterjangkauan yang nampak secara amat    jelas”.[43] Menurut Ath-Thabari “Al-Jabbar” berarti yang memperbaiki urusan makhluk-Nya, melakukan semua dalam kebaikan mereka semua.[44]
12.  Mutakabbir (maha Memiliki Segala Keagungan)
Kata ini terambil dari akar kata yang mengandung makna kebesaran serta lawan dari kemudahan atau kekecilan. Ulama’ berpendapat bahwa makna asal dari kata ini adalah keengganan atau ketidaktundukan, jadi Allah yang bersifat Mutakabbir mereka pahami dalam arti Dia yang enggan menganiaya hamba-Nya.[45] Dalam tafsir al-wajiz dijelaskan bahwa makna “Al-mutakabbir” adalah yang padanya takabbur itu haq.[46]
13.  Al-Khaliq (Maha Menciptakan)
Al-Khaliq terambil dari akar kata “khalaqa” yang arti dasarnya mengukur atau memperhalus. Kemudian berkembang antara lain dengan arti, menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengatur, dan membuat. Menurut pakar bahasa az Zajjaj Khalq jika dimaksudkan dengannya sifat Allah, maka dia adalah awal proses penciptaan.
14.  Al-Bari’ (Maha Mengadakan)
Kata “al-bari” terambil dari kata “al-bar’u” yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu. Dalam tulisan az Zajjaj “setiap yang diciptakan dalam bentuk tertentu, pasti didahului oleh pengukuran, tidak sebaliknya, karena yang diukur belum tentu dibentuk secara tertentu”.[47] Menurut Ibnu Jarir Ath-Thabari “al-bari’’ adalah yang mengadakan penciptaan, kemudian mewujudkannya dengan kekuasaan-Nya.[48]
15.  Al-Mushowwir (Maha Membentuk Rupa)
Kata “al-mushowwir”, terambil dari kata “showwara” yang berarti memberi rupa, cara dan substansi bagi sesuatu, sehingga berbeda dengan selainnya.[49] menurut Ibnu Katsir, “al-mushowwir” berarti yang memutuskan apa yang telah dikehendaki perwujudannya atas sifat yang dikehendakinya.[50] Menurut Ibnu ‘Athiyyah Al-Andalusiy “al-mushowwir” adalah Dia yang mewujudkan rupa atau bentuk.[51]
Allah al-khaliq karena Dia yang mengukur kadar ciptaan-nya, Dia al-bari’ karena Dia menciptakan dan mengadakan dari kletiadaan, dan Allah adalah al-mushowwir karena Dia yang memberinya bentuk dan rupa, cara dan substansi bagi ciptaan-Nya.[52]
Dari kelima belas sifat di atas terangkum dalam asma’ul husna yang berjumlah 99 yang datang (warid) dari hadits.[53]
Pada penutupan surat ada lafadz al-hakim yang dipahami oleh sementara ulama’ dalam arti yang memiliki hikmah, sedang hikmah antara lain berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan.
Kebanyakan sifat Allah al-Hakim dirangkaikan dengan al-‘Aziz. Ini agaknya menunjukkan bahwa ketetapan yang diambil Allah dilaksanakan-Nya sesuai yang dikehendaki-Nya, dan tidak satupun yang dapat menghalangi terlaksananya kehendak itu.[54]
Demikianlah cara Allah mengenalkan diri-Nya kepada manusia, yakni melalui asma-asma terbaik-Nya (asma’ul husna).
















BAB V
RELEVANSI IMAN KEPADA ALLAH DENGAN PENDIDIKAN
Uraian mengenai keimanan kepada Allah sebagaimana dapat dipahami dari kandungan surat Al-Hasyr ayat 22-24 tersebut memiliki hubungan erat dengan pendidikan Islam. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Dari segi kedudukannya
            Keimanan kepada Allah dengan segala uraian yang berkaitan dengannya selain menjadi materi utama pendidikan Islam, juga dapat menjadi dasar bagi perumusan tujuan pendidikan, dasar penyusunan kurikulum, dan aspek-aspek pendidikan lainnya.
            Di kalangan para ahli pendidikan disepakati bahwa mata pelajaran tentang keimanan termasuk mata pelajaran pokok dalam pendidikan Islam. Selanjutnya tujuan pendidikan dalam Islam juga harus berkaitan dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Para ahli pendidikan misalnya sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan pribadi-pribadi yang taat beribadah kepada Allah dalam arti seluas-luasnya.

2.      Dari segi fungsinya
            Keimanan kepada Allah berfungsi mendorong bagi upaya meningkatkan di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Hal itu dapat dipahami dari keharusan orang-orang yang beriman agar memperkuat keimanannya dengan dalil-dalil yang bersifat naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadits), maupun dalili-dalil aqli yang dibangun dari argumentasi rasional. Keimanan kepada Allah tidak boleh didasrkan pada ikut-ikutan atau taqlid. Hal yang demikian ditekankan di sini, karena dari keimanan yang didasarkan pada argumentasi itulah yang dapat menimbulkan sikap tanggung jawab, kreatif, dinamis, serta inovatif. Sikap yang demikian muncul sebagai hasil dari proses internalisasi sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia dan manifestasinya dalam kenyataan hidup sesuai kadar kesanggupannya.[55]
            Menurut Zakiyah Darajat salah satu dari tujuan pendidikan Islam adalah teguh imannya,[56]  ini mengisyaratkan bahwa yang dimaksud iman adalah iman kepada Allah (mengesakan-Nya). Selain itu, di dalam salah satu prinsip pendidikan Islam yaitu prinsip persamaan dan pembebasan, dikembangkan dari nilai tauhid, bahwa Tuhan adalah Esa.[57] Jadi Q.S. Al-Baqarah ayat 163 dan 255 mempunyai urgensi di dalam menjelaskan tujuan dan prinsip pendidikan Islam. Terutama dalam prinsip persamaan dan pembebasan.
            Q.S. Ar-Ruum ayat 22-25 memiliki relevansi dalam pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan senantiasa melakukan perenungan-perenungan akan ciptaan-Nya untuk mengokohkan iman, juga mengajarkan untuk selalu mendengarkan tadbir-tadbir yang ada, memikirkannya, sehingga memiliki ilmunya serta dapat mengamalkannya. Demikian pula pada Q.S. Ar-Ruum ayat 30 memberikan pesan pada dunia pendidikan untuk selalu mengajarkan keimanan kepada-Nya karena itulah yang menjadi pokok dalam pendidikan.






BAB VI
PENUTUP
            Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian dari Iman kepada Allah adalah meyakini aka nada-Nya, membenarkannya dalam hati dan lisan, serta diiringi dengan melakukan amal saleh. Sedangkan untuk memahami makna Iman kepada Allah adalah dengan cara perenungan-perenungan akan ciptaan-Nya, sehingga dari situlah Iman yang sesungguhnya dapat terwujud dan dapat lebih kokoh. Allah, Yang Maha Esa, yang diimani dengan segala kekuasaaan-Nya. Allah juga telah mengenalkan diri-Nya (wujud-Nya) kepada manusia melalui sifat-sifat yang terangkum dalam asma-asma terbaik-Nya yang berjumlah 99.
            Demikianlah makalah ini penulis susun, kritik konstruktif senantiasa penulis harapkan dari pembaca yang budiman. Semoga makalah ini bermanfaat bagi keilmuan kita semua. Amiin.










REFERENSI
Abdulhaq, Abu Muhammad bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. 2007. Tafsir Al-Wajiz, jilid.5. Dar Alkutub Alaliyah.
Ahmadi, Abu dan Noor Salimi. 2004. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam. Bumi Aksara: Jakarta.
Al-Ishfahyani, Raghib. t.t. Mu’jam Mufrodi Alfadli Alquran. Darul Fikr.
Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi. t.t. Tafsir Al-Qur’an, juz.1 dan 2. Darul Fikr.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. t.t. Tafsir Al-Maraghi, juz.21.
As-Salimi, Abu Abdurraman Muhammad bin Al-Husain bin Musa Al-Azdi. t.t. Tafsir As-Salimi, juz.1. Dar Alkutub Alilmiyah: Libanon.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. t.t. Tafsir Ath-Thabari, juz.2,9, dan 10. Darul Hadits: Kairo.
Hamzah, Muchotob, dkk. 2004. Tafsir Maudlu’I Al-Muntaha. LKiS Pelangi Aksara: Yogyakarta.
Katsir, Ibnu. 2008. Tafsir Ibnu Katsir. Dar Alwafa’: Mesir.
Nata, Abudin. 2002. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Raja Grafindo: Jakarta.
Ridha, Imam M. Rasyid. 2005. Tafsir Al-Manar, jilid.3. Dar Alkutub Alilmiyah: Libanon.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. LKiS: Yogyakarta.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah, volume.1, 11, dan 14. Lentera Hati: Jakarta.
Showi, Ahmad Al-Maliki. t.t. Hasyiyah Al-Allamah Ash-Showi, juz.1 dan 3. Darul Fikr.    



[1] M. Quraish Shihab.2002. Tafsir Al-Mishbah. Volume.11. Lentera Hati: Jakarta.hlm. 52.
[2] مائلا اليه أي أخلص دينك للّه أنت ومن تبعك
   (Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi.t.t. Tafsir Al-Qur’an,juz.2 Darul Ilm.hlm.97.).
[3] مستقيما لدينه وطا عته
    (Abu Ja”far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari.t.t.Tafsir Ath-Thabari,juz.9. Darul Hadits: Kairo.hlm.86.).
[4] الحنف هو ميل عن الضّلال إلى الاستقامة
) Raghib al-Ishfahyani.t.t. Mu’jam Mufrodati Alfadli alQur’an. Darul Fikr.hlm.133.).                               
[5] M. Quraish Shihab.Op. Cit.hlm.53.
[6] الفطرة هي الحال التي خلق اللّه النا س عليها من القا بليّة تلحقو والتهيؤ لادراكه
(Ahmad Musthafa Al-maraghi.t.t. Tafsir Al-Maraghi,juz.21.hlm.45.).
[7] M.Qurish Shihab. Loc. Cit.
[8] Muchotob Hamzah, dkk.2004. Tafsir Maudhu,I Al-Muntaha.Lkis Pelangi Aksara: Yogyakarta.hlm.38.
[9] و يقال لكلّ واحد من الاعتقاد والقول الصّدق والعمل الصّلحإيمان
( Raghib Al-Isfahyani.Op.Cit.hlm. 22.).
[10] Abu Ahmadi dan Noor Salili.2004. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam. Bumi Aksara: Jakarta.hlm.51.
[11] ايات دلالات على قدرةه تعالى
(Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi.Loc.Cit.).
[12] لغاتكم أى بان خلق فيكم علما ضروريا تفهمون به لغاتكم ولغات بعضكم على اختلا فها
Ahmad Showi Al-Maliki.t.t. Hasyiyah Al-Allamah Ash-Showi,juz.3.Darul Fikr.hlm.246.
[13] Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Op.. Cit. hlm.44.
[14] يعقلون أى يتدبّرون
(Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi.Loc.Cit.).
[15] M.Quraish Shihab. Op. Cit. hlm. 44.
[16] وإلهكم المستحق للعبادة منكم
إله واحد أى لا نظير له فى ذاته ولا فى صفاته
(Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi. Op. Cit, juz.1.hlm.23.).
[17]انّ قوله لانظير له فى ذاتهأى ان ذاته ليست مركبة من اجزاء وليس لاحد ذات كذاته ولا صفاته أى ليست صفاته متعددة من جنس واحد بمعنى انه ليس له علمان ولا سمعان الى اخرها فى الافعال بمعنى انه ليس لاحد فعل مع الله
( Ahmad Showi Al-Maliki. Op.Cit,juz.1.hlm.73.).
[18] وإلهكم إله واحد لا مثل له ولانظير
(Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Op. Cit, juz.2.hlm.898.).
[19] لاإله إل الله يقتضى شيئين ازالة العلّة عن الربوبية و تنزيه الحق عن الدرك
(Abu Abdurrahan Muhammad bin Al-Husain bin Musa Al-Azdi As-Salimi.t.t.Tafsir Assalimi, juz.1. Dar Alkutub Alilmiyah: Libanon.hlm.75.).
[20] M.Quraish Shihab. Op. Cit, volume.1.hlm.373.
[21] Ibid. hlm. 548.
[22] الحىّ الدّائم البقاء
(Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi. Op. Cit. hlm. 40.).
[23] الحىّ فهو ذوالحياة
(Imam M. Rasyid Ridha. 2005. Tafsir Al-Manar, jilid.3. Dar Alkutub Alilmiyah: Libanon. hlm. 20.).
[24] M.Qurish Shihab. Loc. Cit.
[25] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi. Loc. Cit.
[26] M.Qurish Shihab.Op. Cit.hlm. 548-549.
[27] الكرسىّ هوالعلم الالهي
(Imam M.Rasyid Ridha.Op. Cit. hlm. 28.).
[28] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm. 549.
[29] Ibid, volume.14. hlm. 134.
[30]ورحيم الاخرةو وذالك أنإحسانه فى الدنيا يعمّ المؤمنون والكا فرين وفى الاخرة يختصّ بالمؤمنين هو رحمن الدنيا
(Raghib Al-sfahyani. Op. Cit. hlm. 197.).
[31] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm. 136-137.
[32]القدّوس المبارك
( Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Op. Cit, juz.10.hlm. 756.).
[33] M.Qurish Shihab.Op. Cit.hlm. 137-139.
[34] السّلام معناه الذى سلم من جوره
(Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. 2007. Tafsir Al-Wajiz, jilid.5. Dar Alkutub Alaliyah. hlm. 292.).
[35] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Loc. Cit.
[36] M.Qurish Shihab.Op. Cit.hlm. 140.
[37]  المؤمن اسم فاعل من امن بمعنى أمن
(Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. Loc. Cit.).
[38] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Op. Cit. hlm. 757.
[39] المهيمن أى الشهيد
(Ibid. ).
[40] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm.142-143.
[41] العزيز أى الذي قد عزّكل شيئ فقهرهو وغلب الاشياء فلا ينال جنابه العزيز الذى لا يغلب والقاهر الذى لا يقهر
(Ibnu Katsir. 2008. Tafsir Ibnu Katsir. Darul Wafa’: Mesir. hlm. 433. ).
[42] Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. Loc. Cit.

[43] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm. 143-144.
[44] الجبّار يعنى المصلح امور خلقهو المصور فهم فيما فيه صلاحهم
(Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Loc. Cit.).
[45] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm. 145.
[46] المتكبر معناه الذي له التكبر حقا
(Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. Loc. Cit.).
[47] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm. 148.
[48] البارئ الذى برأ الخلقو فاوجدهم بقدرته
(Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Op. Cit. hlm. 759.).
[49] M.Qurish Shihab.Loc.Cit.
[50]المصور أى الذى ينفذ ما يريد إيجاده علا الصفة التى يريدها
( Ibnu Katsir.Loc. Cit.).
[51]المصوّر هوالذى يوجد الصور
(Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. Loc. Cit.).
[52] M.Qurish Shihab.Op. Cit.hlm. 149.
[53]الاسماء الحسنى التسعة واتسعون الوارد بها الحديث
( M. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi.Qurish Shihab.Op. Cit.).
[54] M.Qurish Shihab.Op. Cit.hlm.150.
[55] Abudin Nata. 2002. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Raja Grafindo: Jakarta. hlm. 74-75.
[56] Moh. Roqib. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. LKiS: Yogyakarta. hlm. 31.
[57] Ibid. hlm. 32.IMAN KEPADA ALLAH
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Tafsir Tarbawi
Dosen pengampu :M.Dzofir, M.Ag


Disusun oleh:
                                           Nama : Ummu Bashiroh
     NIM : 111088
     Kelas : PAI/C

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/ PAI
                                                         TAHUN 2012

BAB I
PENDAHULUAN
Iman merupakan pembahasan pokok di dalam agama yang juga mempunyai pengaruh signifikan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana keterangan Al-Qur’an yang telah menjelaskan bahwa setiap manusia mempunyai fitrah untuk beragama yang hanif, yakni agama Islam, agama yang mengajarkan untuk mengimani-Nya serta mentauhidkan-Nya.
Iman kepada Allah Swt. merupakan induk dari Iman kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan qadha’ qadar-Nya.
Iman kepada-Nya sudah barang tentu harus mengenal-Nya, Allah telah mengenalkan wujud-Nya dengan apa yang ada di langit dan di bumi untuk ditadabburi oleh manusia, juga melalui asma-asma terbaik-Nya yang disebut dengan asma’ul husna.
Berdasarkan ilustrasi di atas, penulis menyadari betapa urgennya untuk memahami hakikat dari Iman kepada Allah swt., sekaligus implementasi serta pengenalan-Nya dalam kehidupan.
Maka dari itu, dalam makalah ini, penulis memaparkan tentang pengertian serta makna Iman kepada Allah Swt. dipandang dari sudut tafsir Al-Qur’an.






BAB II
AYAT-AYAT YANG TERKAIT

وَاٰٰلهكمْ الهّ واحدّ لا الهّ الاّهوُ الرّحمنُ الرّحيمُ (البقرة:163)
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah:163).
اللّهُ لاالهَ الا هو الحىُّ القيّومُ لاتأخذُه سِنَةّ ولا نومّ له ما فى السّموتِ وما فى الارضِ من ذالّذى يشفعُ عنده الاّ بإذنه يعلم ما بين ايديهم وما خلفهم ولا يحيطون بشيئ من علمه إلاّ بما شاءَ وسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰواتِ وَالاَرْضَ ولا يؤوده حِفظهُما وهو العليُّ العظيمُ (البقرة:255)
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. kepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat member syafa’at di sisi Allah tanpa izin-nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di brlakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tingga lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah:255).
ومن ايتِه خلقَ السّمٰوات والارض واختلافُ السنتكُم والوانِكم انّ فى ذالك لاٰيت للعالمينَ (الرّوم:22)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Ar-Ruum:22).
ومن ايتِه منامُكم بالّيلِ والنّهارِ وابتغاؤُكم من فضلِه انَّ فى ذٰلك لاٰية لقوم يّسمعونَ (الرّوم:23)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (Ar-Ruum:23).
ومن ايته يُريكم البرقَ خوفاً وطمعاً وّيُنَزِّلُ من السّماءِ ماءَ فيحي به الارضَ بعد موتِها إنّ في ذٰلك لاٰيت لقومً يّعقلون (الرّوم:24)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (Ar-Ruum:24).
ومن ايته ان تقومَ السّماءُ والارض بأمره ثمّ اذا دعا كم دعوة مّن الارضِ اذا أتنم تخرُجون (الرّوم:25)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).” (Ar-Ruum:25).
فأقم وجهَك للدّين حنيفاً فطرةَ الّله التّى فطَرَ النّاسَ عليها لا تبدِ يل لخلق لا يعلمون (الرّوم:30)
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak adaperubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Ruum:30).
هُوَ اللّه لاإلهَ إلاّ هو عالِمُ الغَيْبِ والشَّهادَةِ هوَ الرّحمٰن الرّحيم (الحشر:22)
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dann yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:22).
هُوَ اللّه لاإاله إلآ هو المَلِكُ القُدّوسُ السّلامُ المُؤمنُ المُهَيْمنُ العزيز ُالجبّارُ المتكبّرُ سبحانَ اللّه عمّا يُشْرِكُون (الحشر:23)
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Maha Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Mengkaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki segala keagungan. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Hasyr:23).
هُوَاللّه الخالقُ البارِئُ المصوّرُ لَهُ الاَسماَءُ الحُسنٰى يُسَبِّحُ لَهُ ما فى السَّمٰوٰتِ والارضِ وهو العزيزُ الحكيمُ (الحشر:24)
“Dialah Allah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Mengadakan, Yang Maha Membentuk Rupa, yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kapada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr:24).








BAB III
MUFRODAT

اله: Tuhan yang disembah
واحد: Satu
الحىّ: Yang Hidup
القيّوم: Yang Berdiri dengan sendirinya
يعلم: mengetahui
كرسىّ: kursi (ilmu Allah)
العليّ: Maha Tinggi
العظيم: Maha Besar
السنتكم: Bahasa Kalian
الوانكم: Warna Kulit Kalian
ايا ت: Tanda-tanda
عا لمين: Orang-orang Yang Mengetahui
يسمعون: Orang-orang Yang Mendengarkan
دعوة: Sekali Panggilan
حنيفا: Lurus
فطرة: Fitrah
الرحمن: Maha Pemurah
الرحيم: Maha Pengasih
الملك: Maha Raja
القدوّس: Maha Suci
السّلام: Maha Sejahtera
المؤمن: Maha Mengkaruniakan keamanan
المهيمن: Maha Memelihara
العزيز: Maha Perkasa
الجبّار: Maha Kuasa
 المتكبّر: Maha Memiliki segala Keagungan
الخالق: Maha Pencipta
البارئ: Maha Mengadakan
المصوّر: Maha Membentuk
سبحان: Maha Suci
الاسماء الحسنى : Nama-nama Yang Paling Baik



                                                                                                                   





BAB IV
PEMBAHASAN
1. Definisi Iman Kepada Allah Swt.
            Pada dasarnya semua manusia dilahirkan dalam keadaan hanif atau sering disebut dengan fitrah Allah, sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Ar-Ruum:30
فأقم وجهَك للدّين حنيفاً فطرةَ الّله التّى فطَرَ النّاسَ عليها لا تبدِ يل لخلقلا يعلمون
(الرّوم:30)    
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak adaperubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Ruum:30).
            Kata “حنيفا” biasanya diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu.[1] Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Hanif berarti condong kepadanya artinya memurnikan agama Allah.[2] Menurut Imam Ath-Thabari “hanifan” berarti lurus kepada agama-Nya dan mena’ati-Nya.[3] Menurut Al-Ishfahyani “hanif” berasal dari kata “hanafa” yang berarti condong dari kesesatan kepada istiqomah.[4]
            Jadi, yang dimaksudkan dengan agama yang hanif adalah agama allah Swt. yakni agama Islam yang mengajarkan untuk mengimani-Nya.
            Selain kata hanif, ayat di atas juga menyebutkan kata “fitrah”. Kata fitrah tarambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Sementara pakar menambahkan, fitrah adalah “mencipta sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya.
            Menurut Al-Biqa’I, yang dimaksudkan fitrah adalah penerimaan kebanaran dan kemantapan mereka dalam penerimaannya.[5] Sedangkan menurut Al-Maraghi, fitrah adalah keadaan yang mana Allah menciptakan manusia dari nafsu untuk kebenaran, dan bangunan tubuhnya untuk akalnya.[6]
            Dari penjelasan di atas, dapat diambil pengertian bahwa pada hakikatnya semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah untuk beragama hanif, yakni agama Islam yang didasarkan pada keimanan kepada Allah Swt. sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin bahwa “Setiap manusia telah diciptakan atas dasar keimanan kepada Allah bahkan atas potensi mengetahui persoalan-persoalan sebagaimana adanya potensi pengetahuan (padanya).[7]
            Kedua hal di atas (fithrah tauhid dan penciptaan manusia dalam keadaan hanif) merupakan inti keimanan kepada Allah.[8]
            Sedangkan definisi dari Iman sendiri adalah meyakini dengan sepenuh hati, dengan pembenaran pada lisan juga hati, serta diikuti dengan melakukan amal saleh.[9] Jadi, pengertian Iman kepada Allah adalah meyakini akan adanya Allah, membenarkannya dalam hati dan lisan, serta diiringi dengan amal saleh.
2. Makna Iman Kepada Allah Swt.
            Wujud atau adanya Allah, bukanlah merupakan sesuatu hal yang sulit dimengerti, sebab fitrah manusia sendiri telah membuktikan dan mengakui adanya Allah tersebut. Fitrah manusia dalam perjalanan hidupnya pasti akan menemukan bukti-bukti adanya Allah, tetapi kenyataannya kadang-kadang menjadikan bahwa zat Allah tersebut seolah-olah tidak ada, sebab baik Zat maupun kekuasaan-Nya sangat dekat dengan fitrah manusia itu sendiri. Karena begitu dekatnya sehingga ia (manusia) tidak menyadarinya.
            Untuk memahami masalah ini memang dibutuhkan adanya pemikiran yang cukup mendalam dan bahkan juga perenungan.[10]
            Sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 22-25:
ومن ايتِه خلقَ السّمٰوات والارض واختلافُ السنتكُم والوانِكم انّ فى ذالك لاٰيت للعالمينَ
(الرّوم:22)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Ar-Ruum:22).
ومن ايتِه منامُكم بالّيلِ والنّهارِ وابتغاؤُكم من فضلِه انَّ فى ذٰلك لاٰية لقوميّسمعونَ (الرّوم:23)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (Ar-Ruum:23).
ومن ايته يُريكم البرقَ خوفاً وطمعاً وّيُنَزِّلُ من السّماءِ ماءَ فيحي به الارضَ بعد موتِها إنّ في ذٰلك لاٰيتلقومً يّعقلون (الرّوم:24)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (Ar-Ruum:24).
ومن ايته ان تقومَ السّماءُ والارض بأمره ثمّ اذا دعا كم دعوة مّن الارضِ اذا أتنم تخرُجون (الرّوم:25)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).” (Ar-Ruum:25).
            Keempat ayat di atas memberikan bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Allah Swt. lafadz “Ayat” di atas ditafsir oleh Imam Jalalain sebagai dalil-dalil atas kekuasaan Allah.[11] Diantara kekuasaan-kakuasaan-Nya yakni:
1.      Menciptakan langit dan bumi beserta seluruh isinya.
2.      Menciptakan (menjadikan) bahasa dan kulit yang berbeda-beda.
Allah menciptakan ilmu dharuri dalam (kehidupan) kita dan kita memahaminya dengan bahasa, sebagian bahasa diantara kita itu berbeda-beda.[12]
3.      Menidurkan di waktu malam, dan usaha manusia dalam mencari sebagian dari karunia-Nya di siang hari.
4.      Memperlihatkan kapada manusia kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan.
5.      Menurunkan air hujan untuk menghidupkan bumi dengannya setelah mati.
6.      Berdirinya langit dan bumi.
7.      Ketika Dia memanggil manusia satu panggilan, seketika itu juga keluar dari kubur.
Ayat-ayat akan kekuasaan Allah tersebut dapat dimengerti bagi orang-orang yang mengetahui, mendengarkan, dan berakal.
Menurut Al-Maraghi orang-orang yang mengetahui maksudnya adalah dengan disebutkan dalil-dalil tersebut bagi orang-orang yang memiliki ilmu dia akan berfikir tentang ciptaan Allah, kemudian mereka mengetahui bahwa tidak ada yang sia-sia pada ciptaan-Nya, akan tetapi justru memiliki hikmah besar yang terdapat pelajaran di dalamnya. Orang-orang yang mendengarkan maksudnya adalah orang-orang yang mau mendengarkan nasihat dan menasihati dengannya., memahami dalil-dalil atas mereka.[13] Dan orang-orang yang berakal adalah orang-orang yang mentadabburi (memikirkan) akan ciptaan-Nya.[14]
Thabaththaba’I menjelaskan bahwa fushilat ayat-ayat yang lalu, yang dimulai dengan yafakkarun/berpikir (ayat 21), lalu li al-‘alamin/bagi orang-orang yang alim (ayat 22), lalu yasma’un/mendengarkan (ayat 23), lalun ya’qilun (24) dengan urutan seperti itu. Susunan tersebut demikian, karena manusia berpikir terlebih dahulu, dan ini mengantar dia dapat menjadi alim (orang yang berpengetahuan). Selanjutnya bila dia mendengar suatu kebenaran, dia akan menangkapnya lalu mengikutinya atau dalam istilah al-Qur’an ya’qil yakni menjadikan dia terikat dengannya serta mengikat dirinya sehingga tidak terjerumus dalam kesalahan.[15]
Setelah dijelaskan tentang bukti-bukti wujud Allah, maka perlu ditegaskan bahwa yang diimani adalah Allah Swt. yang Maha Esa, sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 163:
وَاٰٰلهكمْ الهّ واحدّ لا الهّ الاّهوُ الرّحمنُ الرّحيمُ (البقرة:163)
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah:163).
Lafadz ”وَاٰٰلهكمْdi atas menurut Imam Jalalain diartikan sebagai dzat yang haq untuk disembah dan lafadz “الهّ واحدditafsiri dengan tidak ada yang menyerupai dalam dzat maupun sifat-Nya.[16] Kemudian, Imam Shawi menjabarkan pengertian “tidak adanya yang menyetarai Allah” baik pada dzat maupun sifat-Nya, adalah bahwa tidak ada yang setara pada dzat-Nya yakni tidak ada tersusunnya dzat Allah terdiri dari beberapa juz, dan tidak ada satupun yang menyerupai dzat-Nya, tidak ada yang setara pada sifat-Nya adalah bahwa sifat Allah tidak terbilang dari satu jinis sifat (Allah tidak mempunyai 2 sifat yang sejenis) seperti tidak adanya 2 sifat Ilmu, 2 sifat Sama’, dsb. Juga tidak ada yang menyetarai dalam perbuatan-Nya artinya tidak ada seorangpun yang mempunyai perbuatan yang menyertai-Nya.[17]
Imam Thabari memberikan penjelasan bahwa lafadz “وَاٰٰلهكمْ الهّ واحدّ berarti Tuhan yang haq disembah hanya satu tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak ada yang setara dengan-Nya.[18]
Lafadz “لا اله الاّاللهmencakup dua perkara yakni, menghilangkan kecacatan dari rububiahNya, dan membersihkan kehaqanNya dari sifat rendah.[19]
Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut bahwa “Allah adalah Tuhan kamu  semua, hai manusia yang mukmin, kafir atau munafik. Hanya Dia yang berhak kamu sembah. Siapa yang menyembah selain-Nya atau sesuatu bersama-Nya, maka ibadahnya tidak diterima. Dia yang Maha Esa dalam dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Tiada Tuhan yang berhak disembah, tiada juga penguasa yang menguasai dan mengatur seluruh alam raya melainkan Dia. Dia Yang Maha Pemurah yang melimpahkan rahmat di dunia untuk seluruh makhluk tanpa pilih kasih, serta lagi Maha Penyayang melimpahkan rahmat khusus untuk yang taat kepada-Nya di hari kemudian nanti.[20]
Tuhan yang wajib diimani adalah Allah Yang Maha Esa juga yang mempunyai segala kekuasaan, hal ini dijelaskan dalam surat Al-Baqarah:255 sebagai berikut:
اللّهُ لاالهَ الا هو الحىُّ القيّومُ لاتأخذُه سِنَةّ ولا نومّ له ما فى السّموتِ وما فى الارضِ من ذالّذى يشفعُ عنده الاّ بإذنه يعلم ما بين ايديهم وما خلفهم ولا يحيطون بشيئ من علمه إلاّ بما شاءَ وسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰواتِ وَالاَرْضَ ولا يؤوده حِفظهُما وهو العليُّ العظيمُ (البقرة:255)
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. kepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat member syafa’at di sisi Allah tanpa izin-nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di brlakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tingga lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah:255).
Sifat-sifat Allah yang dikemukakan dalam ayat ini disusun sedemikian rupa sehingga menampik setiap bisikan negative yang dapat menghasilkan keraguan tentang pemeliharaan dan perlindungan Allah. Demikian sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah:255:
1.      Al-Hayyu: yang Maha Hidup dengan kehidupan yang kekal.[21]
Menurut Jalaluddin “Al-Hayyu” mempunyai arti kehidupan yang tetap dan kekal.[22] Menurut Imam M.Rasyid Ridha “Al-Hayyu” yang dimaksud adalah pemilik (yang mepunyai) kehidupan.[23]
2.      Al-Qayyum yakni yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya.[24]
Menurut Jalaluddin “Al-Qayyum” berarti orang yang mencukupi secara terus-menerus dengan mengatur ciptaan-Nya.[25]
3.      لاتأخذُه سِنَةّ ولا نومّ tidak dapat dikalahkan oleh kantuk dan tidur. Allah terus-menerus jaga dan siap siaga.
4.      Yang menguasai langit dan bumi.
5.      Dia Yang Maha Perkasa, sehingga berbicara di hadapan-Nya pun harus setelah memperoleh restu-Nya.
6.      Dia yang mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, yakni Allah mengetahui apa yang mereka lakukan dan rencanakan, baik yang berkaitan dengan masa kini dan yang akan datang, maupun masa lampau.
7.      Dialah yang mengizinkan makhluk-Nya untuk mengetahui apa yang telah direncanakan oleh-Nya.
8.      Kursi-Nya mencakup langit dan bumi. Kursi di sini dimaknai sebagai kekuasaan atau ilmu-Nya.[26] Menurut Imam M. Rasyid Ridha Kursi berarti ilmu Allah.[27]
9.      Allah tidak berat untuk memelihara keduanya (langit dan bumi), Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.[28]
Demikianlah dua ayat yang menjelaskan bahwa yang diimani yakni Allah yang Maha Esa dan kuasa atas segalanya. Pembahasan selanjutnya yakni cara pengenalan kita kepada Allah.
Betapa terbatasnya manusia, sehingga secara dhahir manusia belum dapat melihat wujud Allah secara nyata dan kasat mata, akan tetapi Allah telah memperkenalkan wujud-Nya kepada manusia dengan nama-nama-Nya yang terbaik yang sering disebut “asmaul Husna” diantaranya adalah sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Al-Hasyr ayat 22-24
هُوَ اللّه لاإلهَ إلاّ هو عالِمُ الغَيْبِ والشَّهادَةِ هوَ الرّحمٰن الرّحيم (الحشر:22)
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dann yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:22).
هُوَ اللّه لاإاله إلآ هو المَلِكُ القُدّوسُ السّلامُ المُؤمنُ المُهَيْمنُ العزيز ُالجبّارُ المتكبّرُ سبحانَ اللّه عمّا يُشْرِكُون (الحشر:23)
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Maha Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Mengkaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memiliki segala keagungan. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Hasyr:23).
هُوَاللّه الخالقُ البارِئُ المصوّرُ لَهُ الاَسماَءُ الحُسنٰى يُسَبِّحُ لَهُ ما فى السَّمٰوٰتِ والارضِ وهو العزيزُ الحكيمُ (الحشر:24)
“Dialah Allah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Mengadakan, Yang Maha Membentuk Rupa, yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kapada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr:24).
            Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt. mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1.      Esa, tiada Tuhan selain Dia.
2.      Mengatahui yang ghaib dan yang nyata.
3.      Rahman.[29]
Menurut Raghib Al-Isfahyani, Rahman berarti kasih saying nya ada di dunia, umum untuk orang mukmin dan kafir.
4.      Rahim.
Berarti kasih sayangnya yang di akhirat, dikhususkan untuk orang-orang mukmin.[30]
5.      Malik (maha Raja)
Kata Malik mengandung makna kekuatan atau keshahihan. Kata ini terulang di dalam Al-Qur’an sebanyak lima kali. Al-Malik mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya.
6.      Quddus (Maha Suci)
Al-Quddus mengandung makna kesucian.[31] Menurut Ath-Thabari Al-Quddus berarti yang penuh keberkatan.[32] Ada ulama’ yang mengartikan sebagai yang menghimpun semua makna-makna yang baik atau yang terpuji dengan segala macam kebajikan.
7.      Salam (Maha Sejahtera)
Kata “As-Salam” terambil dari akar kata “salima” yang maknanya berkisar pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Allah adalah as-salam karena Yang Maha Esa itu terhindar dari segala aib, kekurangan dan kepunahan yang dialami para makhluk. Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa semua ulama’ sepakat bahwa nama as-salam yang dinisbahkan kepada Allah berarti Dzu as-Salamah yakni pemilik As-Salamah.[33] Menurut Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy, “As-Salam” berarti yang selamat dari aniaya-Nya.[34] Sedangkan menurut Ath-Thabari “As-Salam” berarti yang menyelamatkan ciptaan-Nya dari aniaya-Nya.[35]
8.      Mukmin (Maha Mengkaruniakan Keamanan)
Kata “al-mu’min” terambil dari akar kata ”amina”, yang melahirkan sekian banyak bentuk antara lain iman, amanah, dan aman. Amanah adalah lawan dari kalimat khianat yang melahirkan ketenangan batin serta rasa aman karena adanya pembenaran dan kepercayaan terhadap sesuatu, sedang iman adalah pembanaran hati dan kepercayaan terhadap sesuatu.[36] Menurut Ibn ‘Athiyyah Al-Andalusiy, mu’min merupakan isim fa’il dari “amana” yang berarti aman.[37] Sedangkan menurut Ath-Thabari adalah yang mengamankan penciptaan-Nya dari kedhaliman-Nya.[38]
9.      Muhaimin (Maha Memelihara)
Menurut Ath-Thabari “Muhaimin” berarti yang menyaksikan.[39] Pendapat yang lebih kuat adalah yang mengartikan “al-muhaimin” sebagai yang menjadi saksi terhadap sesuatu serta memeliharanya.
10.  Aziz (maha Perkasa)
Kata “al-aziz” terambil dari akar kata yang terdiri dari dua huruf, yaitu ‘ain dan zai, maknanya berkisar pada kekukuhan dan kemantapan.[40] Menurut ibn Katsir “al-aziz” berarti yang menguatkan segala sesuatu sehingga mengalahkannya, dan mengalahkan sesuatu sehingga tidak dapat menolaknya.[41] Menurut Ibn ‘Athiyyah “al-aziz” berarti yang tidak dikalahkan .[42]
11.  Jabbar (Maha Kuasa)
“Al-Jabbar” mengandung makna keagungan, ketinggian, dan istiqomah yakni konsistensi. Allah adalah Al-Jabbar karena ketinggian sifat-sifat-Nya yang menjadikan siapapun tidak mampu menjangkau-Nya. Al-Biqa’I menafsirkan kata Jabbar dengan “ Yang Maha Tinggi sehingga memaksa yang rendah untuk tunduk kepada apa yang dikehendaki-Nya, dan tidak terlihat atau terjangkau oleh yang rendah apa yang mereka harapkan untuk diraih dari sisi-Nya, ketundukan dan ketidakterjangkauan yang nampak secara amat    jelas”.[43] Menurut Ath-Thabari “Al-Jabbar” berarti yang memperbaiki urusan makhluk-Nya, melakukan semua dalam kebaikan mereka semua.[44]
12.  Mutakabbir (maha Memiliki Segala Keagungan)
Kata ini terambil dari akar kata yang mengandung makna kebesaran serta lawan dari kemudahan atau kekecilan. Ulama’ berpendapat bahwa makna asal dari kata ini adalah keengganan atau ketidaktundukan, jadi Allah yang bersifat Mutakabbir mereka pahami dalam arti Dia yang enggan menganiaya hamba-Nya.[45] Dalam tafsir al-wajiz dijelaskan bahwa makna “Al-mutakabbir” adalah yang padanya takabbur itu haq.[46]
13.  Al-Khaliq (Maha Menciptakan)
Al-Khaliq terambil dari akar kata “khalaqa” yang arti dasarnya mengukur atau memperhalus. Kemudian berkembang antara lain dengan arti, menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengatur, dan membuat. Menurut pakar bahasa az Zajjaj Khalq jika dimaksudkan dengannya sifat Allah, maka dia adalah awal proses penciptaan.
14.  Al-Bari’ (Maha Mengadakan)
Kata “al-bari” terambil dari kata “al-bar’u” yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu. Dalam tulisan az Zajjaj “setiap yang diciptakan dalam bentuk tertentu, pasti didahului oleh pengukuran, tidak sebaliknya, karena yang diukur belum tentu dibentuk secara tertentu”.[47] Menurut Ibnu Jarir Ath-Thabari “al-bari’’ adalah yang mengadakan penciptaan, kemudian mewujudkannya dengan kekuasaan-Nya.[48]
15.  Al-Mushowwir (Maha Membentuk Rupa)
Kata “al-mushowwir”, terambil dari kata “showwara” yang berarti memberi rupa, cara dan substansi bagi sesuatu, sehingga berbeda dengan selainnya.[49] menurut Ibnu Katsir, “al-mushowwir” berarti yang memutuskan apa yang telah dikehendaki perwujudannya atas sifat yang dikehendakinya.[50] Menurut Ibnu ‘Athiyyah Al-Andalusiy “al-mushowwir” adalah Dia yang mewujudkan rupa atau bentuk.[51]
Allah al-khaliq karena Dia yang mengukur kadar ciptaan-nya, Dia al-bari’ karena Dia menciptakan dan mengadakan dari kletiadaan, dan Allah adalah al-mushowwir karena Dia yang memberinya bentuk dan rupa, cara dan substansi bagi ciptaan-Nya.[52]
Dari kelima belas sifat di atas terangkum dalam asma’ul husna yang berjumlah 99 yang datang (warid) dari hadits.[53]
Pada penutupan surat ada lafadz al-hakim yang dipahami oleh sementara ulama’ dalam arti yang memiliki hikmah, sedang hikmah antara lain berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan.
Kebanyakan sifat Allah al-Hakim dirangkaikan dengan al-‘Aziz. Ini agaknya menunjukkan bahwa ketetapan yang diambil Allah dilaksanakan-Nya sesuai yang dikehendaki-Nya, dan tidak satupun yang dapat menghalangi terlaksananya kehendak itu.[54]
Demikianlah cara Allah mengenalkan diri-Nya kepada manusia, yakni melalui asma-asma terbaik-Nya (asma’ul husna).
















BAB V
RELEVANSI IMAN KEPADA ALLAH DENGAN PENDIDIKAN
Uraian mengenai keimanan kepada Allah sebagaimana dapat dipahami dari kandungan surat Al-Hasyr ayat 22-24 tersebut memiliki hubungan erat dengan pendidikan Islam. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Dari segi kedudukannya
            Keimanan kepada Allah dengan segala uraian yang berkaitan dengannya selain menjadi materi utama pendidikan Islam, juga dapat menjadi dasar bagi perumusan tujuan pendidikan, dasar penyusunan kurikulum, dan aspek-aspek pendidikan lainnya.
            Di kalangan para ahli pendidikan disepakati bahwa mata pelajaran tentang keimanan termasuk mata pelajaran pokok dalam pendidikan Islam. Selanjutnya tujuan pendidikan dalam Islam juga harus berkaitan dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Para ahli pendidikan misalnya sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan pribadi-pribadi yang taat beribadah kepada Allah dalam arti seluas-luasnya.

2.      Dari segi fungsinya
            Keimanan kepada Allah berfungsi mendorong bagi upaya meningkatkan di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Hal itu dapat dipahami dari keharusan orang-orang yang beriman agar memperkuat keimanannya dengan dalil-dalil yang bersifat naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadits), maupun dalili-dalil aqli yang dibangun dari argumentasi rasional. Keimanan kepada Allah tidak boleh didasrkan pada ikut-ikutan atau taqlid. Hal yang demikian ditekankan di sini, karena dari keimanan yang didasarkan pada argumentasi itulah yang dapat menimbulkan sikap tanggung jawab, kreatif, dinamis, serta inovatif. Sikap yang demikian muncul sebagai hasil dari proses internalisasi sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia dan manifestasinya dalam kenyataan hidup sesuai kadar kesanggupannya.[55]
            Menurut Zakiyah Darajat salah satu dari tujuan pendidikan Islam adalah teguh imannya,[56]  ini mengisyaratkan bahwa yang dimaksud iman adalah iman kepada Allah (mengesakan-Nya). Selain itu, di dalam salah satu prinsip pendidikan Islam yaitu prinsip persamaan dan pembebasan, dikembangkan dari nilai tauhid, bahwa Tuhan adalah Esa.[57] Jadi Q.S. Al-Baqarah ayat 163 dan 255 mempunyai urgensi di dalam menjelaskan tujuan dan prinsip pendidikan Islam. Terutama dalam prinsip persamaan dan pembebasan.
            Q.S. Ar-Ruum ayat 22-25 memiliki relevansi dalam pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan senantiasa melakukan perenungan-perenungan akan ciptaan-Nya untuk mengokohkan iman, juga mengajarkan untuk selalu mendengarkan tadbir-tadbir yang ada, memikirkannya, sehingga memiliki ilmunya serta dapat mengamalkannya. Demikian pula pada Q.S. Ar-Ruum ayat 30 memberikan pesan pada dunia pendidikan untuk selalu mengajarkan keimanan kepada-Nya karena itulah yang menjadi pokok dalam pendidikan.






BAB VI
PENUTUP
            Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian dari Iman kepada Allah adalah meyakini aka nada-Nya, membenarkannya dalam hati dan lisan, serta diiringi dengan melakukan amal saleh. Sedangkan untuk memahami makna Iman kepada Allah adalah dengan cara perenungan-perenungan akan ciptaan-Nya, sehingga dari situlah Iman yang sesungguhnya dapat terwujud dan dapat lebih kokoh. Allah, Yang Maha Esa, yang diimani dengan segala kekuasaaan-Nya. Allah juga telah mengenalkan diri-Nya (wujud-Nya) kepada manusia melalui sifat-sifat yang terangkum dalam asma-asma terbaik-Nya yang berjumlah 99.
            Demikianlah makalah ini penulis susun, kritik konstruktif senantiasa penulis harapkan dari pembaca yang budiman. Semoga makalah ini bermanfaat bagi keilmuan kita semua. Amiin.










REFERENSI
Abdulhaq, Abu Muhammad bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. 2007. Tafsir Al-Wajiz, jilid.5. Dar Alkutub Alaliyah.
Ahmadi, Abu dan Noor Salimi. 2004. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam. Bumi Aksara: Jakarta.
Al-Ishfahyani, Raghib. t.t. Mu’jam Mufrodi Alfadli Alquran. Darul Fikr.
Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi. t.t. Tafsir Al-Qur’an, juz.1 dan 2. Darul Fikr.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. t.t. Tafsir Al-Maraghi, juz.21.
As-Salimi, Abu Abdurraman Muhammad bin Al-Husain bin Musa Al-Azdi. t.t. Tafsir As-Salimi, juz.1. Dar Alkutub Alilmiyah: Libanon.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. t.t. Tafsir Ath-Thabari, juz.2,9, dan 10. Darul Hadits: Kairo.
Hamzah, Muchotob, dkk. 2004. Tafsir Maudlu’I Al-Muntaha. LKiS Pelangi Aksara: Yogyakarta.
Katsir, Ibnu. 2008. Tafsir Ibnu Katsir. Dar Alwafa’: Mesir.
Nata, Abudin. 2002. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Raja Grafindo: Jakarta.
Ridha, Imam M. Rasyid. 2005. Tafsir Al-Manar, jilid.3. Dar Alkutub Alilmiyah: Libanon.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. LKiS: Yogyakarta.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah, volume.1, 11, dan 14. Lentera Hati: Jakarta.
Showi, Ahmad Al-Maliki. t.t. Hasyiyah Al-Allamah Ash-Showi, juz.1 dan 3. Darul Fikr.    



[1] M. Quraish Shihab.2002. Tafsir Al-Mishbah. Volume.11. Lentera Hati: Jakarta.hlm. 52.
[2] مائلا اليه أي أخلص دينك للّه أنت ومن تبعك
   (Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi.t.t. Tafsir Al-Qur’an,juz.2 Darul Ilm.hlm.97.).
[3] مستقيما لدينه وطا عته
    (Abu Ja”far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari.t.t.Tafsir Ath-Thabari,juz.9. Darul Hadits: Kairo.hlm.86.).
[4] الحنف هو ميل عن الضّلال إلى الاستقامة
) Raghib al-Ishfahyani.t.t. Mu’jam Mufrodati Alfadli alQur’an. Darul Fikr.hlm.133.).                               
[5] M. Quraish Shihab.Op. Cit.hlm.53.
[6] الفطرة هي الحال التي خلق اللّه النا س عليها من القا بليّة تلحقو والتهيؤ لادراكه
(Ahmad Musthafa Al-maraghi.t.t. Tafsir Al-Maraghi,juz.21.hlm.45.).
[7] M.Qurish Shihab. Loc. Cit.
[8] Muchotob Hamzah, dkk.2004. Tafsir Maudhu,I Al-Muntaha.Lkis Pelangi Aksara: Yogyakarta.hlm.38.
[9] و يقال لكلّ واحد من الاعتقاد والقول الصّدق والعمل الصّلحإيمان
( Raghib Al-Isfahyani.Op.Cit.hlm. 22.).
[10] Abu Ahmadi dan Noor Salili.2004. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam. Bumi Aksara: Jakarta.hlm.51.
[11] ايات دلالات على قدرةه تعالى
(Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi.Loc.Cit.).
[12] لغاتكم أى بان خلق فيكم علما ضروريا تفهمون به لغاتكم ولغات بعضكم على اختلا فها
Ahmad Showi Al-Maliki.t.t. Hasyiyah Al-Allamah Ash-Showi,juz.3.Darul Fikr.hlm.246.
[13] Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Op.. Cit. hlm.44.
[14] يعقلون أى يتدبّرون
(Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi.Loc.Cit.).
[15] M.Quraish Shihab. Op. Cit. hlm. 44.
[16] وإلهكم المستحق للعبادة منكم
إله واحد أى لا نظير له فى ذاته ولا فى صفاته
(Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi. Op. Cit, juz.1.hlm.23.).
[17]انّ قوله لانظير له فى ذاتهأى ان ذاته ليست مركبة من اجزاء وليس لاحد ذات كذاته ولا صفاته أى ليست صفاته متعددة من جنس واحد بمعنى انه ليس له علمان ولا سمعان الى اخرها فى الافعال بمعنى انه ليس لاحد فعل مع الله
( Ahmad Showi Al-Maliki. Op.Cit,juz.1.hlm.73.).
[18] وإلهكم إله واحد لا مثل له ولانظير
(Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Op. Cit, juz.2.hlm.898.).
[19] لاإله إل الله يقتضى شيئين ازالة العلّة عن الربوبية و تنزيه الحق عن الدرك
(Abu Abdurrahan Muhammad bin Al-Husain bin Musa Al-Azdi As-Salimi.t.t.Tafsir Assalimi, juz.1. Dar Alkutub Alilmiyah: Libanon.hlm.75.).
[20] M.Quraish Shihab. Op. Cit, volume.1.hlm.373.
[21] Ibid. hlm. 548.
[22] الحىّ الدّائم البقاء
(Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi. Op. Cit. hlm. 40.).
[23] الحىّ فهو ذوالحياة
(Imam M. Rasyid Ridha. 2005. Tafsir Al-Manar, jilid.3. Dar Alkutub Alilmiyah: Libanon. hlm. 20.).
[24] M.Qurish Shihab. Loc. Cit.
[25] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi. Loc. Cit.
[26] M.Qurish Shihab.Op. Cit.hlm. 548-549.
[27] الكرسىّ هوالعلم الالهي
(Imam M.Rasyid Ridha.Op. Cit. hlm. 28.).
[28] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm. 549.
[29] Ibid, volume.14. hlm. 134.
[30]ورحيم الاخرةو وذالك أنإحسانه فى الدنيا يعمّ المؤمنون والكا فرين وفى الاخرة يختصّ بالمؤمنين هو رحمن الدنيا
(Raghib Al-sfahyani. Op. Cit. hlm. 197.).
[31] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm. 136-137.
[32]القدّوس المبارك
( Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Op. Cit, juz.10.hlm. 756.).
[33] M.Qurish Shihab.Op. Cit.hlm. 137-139.
[34] السّلام معناه الذى سلم من جوره
(Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. 2007. Tafsir Al-Wajiz, jilid.5. Dar Alkutub Alaliyah. hlm. 292.).
[35] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Loc. Cit.
[36] M.Qurish Shihab.Op. Cit.hlm. 140.
[37]  المؤمن اسم فاعل من امن بمعنى أمن
(Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. Loc. Cit.).
[38] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Op. Cit. hlm. 757.
[39] المهيمن أى الشهيد
(Ibid. ).
[40] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm.142-143.
[41] العزيز أى الذي قد عزّكل شيئ فقهرهو وغلب الاشياء فلا ينال جنابه العزيز الذى لا يغلب والقاهر الذى لا يقهر
(Ibnu Katsir. 2008. Tafsir Ibnu Katsir. Darul Wafa’: Mesir. hlm. 433. ).
[42] Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. Loc. Cit.

[43] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm. 143-144.
[44] الجبّار يعنى المصلح امور خلقهو المصور فهم فيما فيه صلاحهم
(Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Loc. Cit.).
[45] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm. 145.
[46] المتكبر معناه الذي له التكبر حقا
(Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. Loc. Cit.).
[47] M.Qurish Shihab.Op. Cit. hlm. 148.
[48] البارئ الذى برأ الخلقو فاوجدهم بقدرته
(Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Op. Cit. hlm. 759.).
[49] M.Qurish Shihab.Loc.Cit.
[50]المصور أى الذى ينفذ ما يريد إيجاده علا الصفة التى يريدها
( Ibnu Katsir.Loc. Cit.).
[51]المصوّر هوالذى يوجد الصور
(Abu Muhammad Abdulhaq bin Ghalib bin ‘Athiyyah Al-Andalusiy. Loc. Cit.).
[52] M.Qurish Shihab.Op. Cit.hlm. 149.
[53]الاسماء الحسنى التسعة واتسعون الوارد بها الحديث
( M. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-        suyuthi.Qurish Shihab.Op. Cit.).
[54] M.Qurish Shihab.Op. Cit.hlm.150.
[55] Abudin Nata. 2002. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Raja Grafindo: Jakarta. hlm. 74-75.
[56] Moh. Roqib. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. LKiS: Yogyakarta. hlm. 31.
[57] Ibid. hlm. 32.