Ketika hendak
melakukan sesuatu maka harus dilakukan dengan niat yang tulus dan ikhlas.
Sehingga, kita selalu bertanya-tanya, sebenarnya apa sih makna dari ikhlas dan
apa saja yang perlu diperhatikan?
Ikhlas berarti
memurnikan perkataan, perbuatan, dan perjuangan hanya kepada Allah swt., serta
mengharap keridhaan-Nya semata. Semua yang yang dilakukan tanpa mempedulikan keuntungan materi, pangkat,
gelar, popularitas, ataupun ambisi terselubung lainnya. Jadi, suatu perbuatan
akan dimaknai ikhlas, ketika seseorang di dalam menjalankannya tidak ada maksud
tertentu selain memang hanya karena Allah swt.
Berbicara
tentang ikhlas, kita akan digiring pada salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang
berarti sebagai berikut:
“Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya.” (Q. S. Al-Mulk: 2).
Fudhail bi
Iyadh menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ahsanu amala (yang lebih
baik amalnya) dalam ayat tersebut adalah yang paling ikhlas dan tulus.
Berlaku ikhlas
memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak dapat dilakukan. Karena, tidak ada
yang tidak mungkin. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa indikator ikhlas agar
dapat dijadikan bahan untuk memetakan keikhlasan di hati kita.
Pertama,
merasa khawatir terhadap ketenaran dan keharuman nama, terutama bila ia
termasuk orang yang berprestasi. Orang seperti ini meyakini bahwa Allah melihat
dari hati seseorang, bukan tampilan luarnya.
Kedua, selalu
menilai diri kurang maksimal dalam menunaikan hak-hak dan kewajiban dari Allah
Swt. hatinya tidak dirasuki oleh perasaan tertipu ataupun bangga diri. Bahkan,
ia selalu takut atas kesalahan-kesalahan yang tidak terampuni dan
kebaikan-kebaikan yang tidak diterima.
Ketiga, ia
akan lebih mencintasi amal perbuatan yang tersembunyi daripada amal yang
diperlihatkan kepada orang lain. Dalam
hal ini ada sebuah kisah.
Suatu hari,
Umar bin Khattab keluar menuju masjid. Tiba-tiba ia menjumpai Mu’adz bin Jabbal
sedang duduk dan menangis di dekat kuburan Rasulullah Saw. Maka, Umar pun
bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Mu’adz menjawab, “Saya menangis
karena (ingat) sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya riya’ (beramal karena
mencari pujian manusia) sangat kecil termasuk syirik.”
Keempat, saat
menjadi pemimpin maupun yang dipimpin, ia tetap produktif dalam beramal selama
dalam bingkai perjuangan.
Kelima, tidak
menghiraukan keridhaan manusia, apabila di baliknya terdapat kemurkaan Allah.
Keenam,
kecintaan dan kebenciaanyya, kemauan dan keengganannya untuk memberi, serta
keridhaan dan kemurkaannya hanya karena Allah swt. semata.
Ketujuh, tidak
merasa malas, jenuh maupun putus harapan karena panjangnya jalan perjuangan
yang harus dilalui atau lamanya mencapai keberhasilan. Baginya, beramal bukan
untuk meraih kesuksesan belaka, tetapi untuk medapatkan keridhaan Allah swt.,
dalam menjalankan perintah-Nya.
Kedelapan,
bergembira dengan munculnya orang-orang yang berprestasi di barisan perjuangan.
Ia selalu memberikan ruang dan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang
yang erbakat untuk menggantikan posisinya, tanpa sedikit pun
menghalang-halanginya. Bahkan, ia akan meninggalkan posisinya dengan senang
hati, jika ada orang lain yang lebih baik darinya untuk menempati posisi
tersebut.
Sumber: Hawari
Aka, Guru yang Berkarakter Kuat, Laksana, Jogjakarta, 2012, hlm. 35-39.
No comments:
Post a Comment